Langsung ke konten utama

Guru dan Dekadensi Moral Peserta Didik

Perkembamgan teknologi komunikasi yang kian pesat dewasa ini ternyata tidak hanya membawa efek positif tetapi juga memberikan dampak negatif bagi manusia dari berbagai aspek kehidupannya. Dampak negatif ini tentu saja tidak hanya menyerang orangtua melainkan juga menyasar para peserta didik tingkat sekolah dasar dan menengah.  Ada begitu banyak pemberitaan media yang menyoroti tentang perilaku peserta didik usia sekolah yang melakukan tindakan kekerasan terhadap temannya, terhadap guru bahkan terhadap orangtuanya sendiri. Selain itu, Aksi tawuran antarpelajar, geng motor, bully, perudungan, pelecehan, hamil di luar nikah serta perbuatan tercelah lainya yang masih marak terjadi. Perilaku seperti ini merupakan contoh dari dekadensi moral, artinya ada kemerosotan moral atau perilaku. Dalam konteks ini, peserta didik seakan tidak lagi sanggup membedakan mana perbuatan yang harus dilakukan dan mana perbuatan yang semestinya dihindari.  Situasi ini tentu saja menggelitik nurtani par...

Kisah Di Penghujung Ziarah

Bunyi lonceng pecahkan kesunyian. Mengajak semua agar meninggalkan aktivitas pribadinya menuju perjamuan bersama. Aku juga ikut bergegas dengan hati gembira. Jamuan makan malam bersama memang membawa kenikmatan tersendiri bagiku. Aku telah mempersiapkan diri untuk secara jujur dan berani menyampaikan kepada teman- teman apa yang telah aku putuskan. Menjelang berakhirnya jamuan makan malam, aku tampil di hadapan kawan-kawan semuanya. 

”Selamat malam kawan-kawanku seperjuangan. Saya berdiri di sini untuk yang terakhir kalinya. Setelah menjalani waktu penuh pergumulan, akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri ziarah panggilan ini. Keputusan ini keluar dari kehendakku yang bebas tanpa ada intervensi dari pihak mana pun. Aku sungguh menyadari bahwa ada banyak jalan yang mesti dilalui. Namun dari sekian banyak jalan, semuanya dapat diringkas menjadi dua jalan yakni jalan masuk dan jalan keluar. Saya telah memilih jalan keluar sekaligus membuka jalan masuk yang baru...”

Inilah sepenggal kata pisah yang kuungkapkan saat aku meninggalkan rumah Rita tercinta. Rumah tempat aku menghabiskan hari-hari bahagia penuh canda ria bersama kawan-kawan seperjuangan; tempat aku boleh bermimpi tentang hari esok yang penuh harapan; tempat aku bergumul dengan ilmu pengetahuan sampai aku mengenyam pendidikan tinggi; tempat aku menemukan jati diriku yang riil hingga aku berani memutuskan untuk memilih ’jalur lain’. 

Foto: pexels.com

Aku meninggalkan ’jalan khusus’ yang dinilai suci berdasarkan ideologi agama yang aku anut. Aku sadar betul betapa bapa, mama dan segenap kerabat keluargaku mendukung aku di jalan yang khusus itu. Jalan khusus itu merupakan jalan untuk menjadi hamba Ilahi yang dikhususkan, untuk menjadi pelayan dari semua pelayan, baik di bumi dan mungkin saja sampai di alam baka. Jalan itu memang merupakan jalan yang sangat sempit dan tidak semua orang sanggup melewatinya. Ya, termasuk aku. Aku sungguh menyadari keadaan diriku sehingga aku berani mengatakan bahwa aku tak sanggup. 

Kata pisah yang kuucapkan di hadapan kawan-kawan seperjuangan membuat mereka kaget bercampur tak percaya. Pasalnya, empat pilar utama penopang bangunan panggilan yang aku tunjukan yakni kerohanian, intelektual, kepribadian dan humaniora sama sekali tidak diragukan berdasarkan pengamatan dan penilaian mereka. Namun, akhirnya mereka juga sadar bahwa jalan panggilan khusus tetap memiliki aspek kemisteriannya sebab hal itu bukanlah perkara manusia semata tetapi tetap dalam campur tangan Sang Ilahi. 

Seusai makan malam, aku kembali ke kamarku dan mengemas barang-barangku. Kawan-kawanku satu persatu berdatangan hendak menyampaikan salam perpisahan. 

”Jangan lupakan kami kalau teman sudah menemukan apa yang teman impikan.”

”Ia kawan” jawabku dengan nafas tersesak. Aku berjuang untuk menahan air mata. Entah mengapa aku benar-benar merasa sedih. Padahal kata pisah yang kuungkapkan di kamar makan begitu berapi-api. 

Waktu terus berjalan. Malam pun kian larut. Satu-satu persatu  kawan-kawanku pergi ke kamar masing-masing untuk urusan pribadi. Tinggalah aku seorang diri dalam kamarku yang sepi. Aku sungguh mengalami kesendirian. Semalan suntuk, aku hampir tak bisa memejamkan mata. Kalaupun aku menutup mata tetapi hatiku bangun. Aku teringat pada ibu yang tergolong fanatik dalam mendukung perjuanganku. Bapakku agak moderat, mungkin karena aku kadang bersilang pendapat dengan bapak sehingga apa pun yang aku putuskan bapak pasti tetap menerimanya. Tetapi bagaimana dengan ibu. Aku tahu persis wataknya, perjuangan serta pengorbanannya. Aku selalu ingat wejangannya yang tak pernah letih keluar dari mulutnya: ”Nak, kamu sekolah baik-baik, ingatlah perjuangan orangtuamu.” Sungguh, suatu pesan yang sederhana namun bermakna. Pesan inilah yang selalu disampaikannya setiap kali aku meninggalkan kampung halaman yang kucintai guna melanjutkan pendidikan. 

Selama aku mengenyam pendidikan, wejangan yang sama selalu diuncapkannya kepadaku. Ibu selalu bangun pagi-pagi untuk menyiapkan makan pagi, selanjutnya membangunkanku yang tengah terlelap dalam tidur. Kadang aku memberontak. Namun, kasih keibuannya sanggup meluluh-lantakan ketegaran hatiku. Ibu selalu membuat kripik pisang kesukaanku. ”Ini buat makan di jalan supaya jangan keluar uang lagi untuk beli jajan dalam perjalanan.” Demikian ibu menegaskan. Kripik buatan ibu memang sangat enak berbeda dengan kripik buatan orang lain dan aku benar-benar menikmatinya. Suatu ketika aku pernah melarang ibu agar tidak usah membuat kripik. Alasannya, aku tak mau melihat ibu repot mengiris pisang kemudian meniup api saat menggorengnya. Namun, ibu tidak mempedulikannya. Diam-diam ibu menyimpan kripik kesukaanku itu ke dalam tas pakaian yang telah kupersiapkan. Aku sungguh sadar ibu melakukan semuanya karena cinta dan dukungannya terhadap ziarah panggilanku. 

Kini, aku benar-benar telah mengkhianati kasih ibu yang tulus terhadapku. Aku benar-benar kilaf. ”Oh ibu, seandainya engkau bersamaku saat ini akan kucium kakimu ungkapan maafku yang teramat dalam.” Tetapi apa dayaku, ibu berada jauh di kampung halaman. Di malam yang sepi itu aku hanya bergumul dalam kesendirian hingga aku tak sanggup menahan air mata yang membanjiri kedua pipiku. Aku mencoba untuk tegar hingga pagi menjemputku. 

Aku merasa waktu seakan berjalan begitu cepat. Pagi yang sebenarnya indah namun terasa menyesakan dada. Kawan-kawanku bergegas ke tempat kuliah. Mereka melambaikan tangan dan perlahan-lahan menghilang. Sungguh suatu lambaian perpisahan yang tak mungkin bersatu kembali seperti keadaan semula. Dan, benarlah bahwa segala sesuatu berubah, segala sesuatu mengalir. 

Aku kembali terpekur bisu dalam kesendirian menunggu bus angkutan umum. Tak lama setelah itu, bus pun datang. Aku masuk ke dalam bus yang tak banyak penumpangnya. Dalam bus aku tidak ditemani siapa-siapa. Aku kembali berpikir bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan keputusanku di hadapan bapa dan mama. Aku dihantui perasaan bersalah karena telah menodai ketulusan orangtua  dalam mendukung dan menyekolahkanku. 

”Ibu, tidakkah Ibu tahu bahwa aku sedang dalam perjalanan kembali ke rumah? Aku tidak membawa hasil sebagaimana yang Ibu impikan. Aku hanya membawa segudang kekecewaan buat Ibu. Aku tak tahu, harus bagaimana. Inilah keputusan yang aku ambil bukti ketidaksanggupanku. Ibu, kuharap engkau mengerti keadaan serta keterbatasanku.” 

Aku menatap jauh ke depan, kosong dan sepertinya tak tahu arah. Tak kurasa bus sudah berhenti di warung makan. Disitu aku membayangkan kembali teman-tamanku kala makan bersama di warung tersebut pada kesempatan pergi berlibur atau pun kembali dari liburan. Kini, hal itu hanyalah bayangan berlalu. Semuanya tak akan mungkin terulang lagi. Aku berusaha untuk ceria walau hati diliputi kesedihan. Aku benar-benar sendiri menikmati nasi ayam goreng kesukaanku. ”Ya, tak apalah inilah konsekwensi logis dari keputusan yang aku ambil.” Demikian gumamku dalam hati.

Perjalanan terus berlanjut. Pikiranku tetap kalut terutama bagaimana aku mempertanggungjawabkan keputusanku meninggalkan jalan panggilan yang khusus dan mencoba memilih jalan yang lain yang aku sendiri tidak tahu harus memulainya dari mana. Dalam kekalutan itulah, aku berbelok arah. Aku tidak kembali ke rumah menjumpai orangtua. Aku memilih menjauhi mereka. Dan, aku pun memulai petualangku yang penuh tantangan. Aku berjalan kian kemari mencari pekerjaan yang sesuai. Suatu usaha yang banyak menuai peluh air mata. Usaha itu sedikitnya membuahkan hasil, setidaknya aku tak lagi bergantung pada orangtua. Aku diterima pada sebuah sekolah swasta. Aku berusaha untuk mandiri walau upah kerjaku sama sekali jauh dari cukup. Aku mencoba menikmatinya dengan penuh rasa syukur. 

Dalam situasi yang tak menentu itu, aku masih terbebani oleh perasaan bersalah. Aku benar-benar ingat pada ibu. Aku sangat yakin ia menghendaki aku kembali sebab kabar tentang keberadaanku sudah diketahuinya. Aku kembali larut dalam kesedihan. Kulantunkan doa dalam keheningan dan kesendirian semoga ibu senantiasa sehat walafiat dan tetap berada dalam perlindungan Yang Maha Kuasa. Aku mengambil diariku dan kugoreskan untaian kata di dalamnya:

“Ibu, bila kita kembali bersama kan kuceritakan isi hatiku padamu. Tentang usaha dan perjuangan tiada akhir, tentang sesuatu yang tidak kita duga, tentang kasih yang lintas batas, tentang bahasa hati dari semua orang yang berkehendak baik. Ibu, engkau sendiri tak pernah berhenti berdoa demi keberhasilanku. Kini aku tahu engkau sangat menderita karena ulahku yang pergi jauh tanpa pemberitahuan. Ibu, aku janji bila kita kembali bersama ’kan kukisahkan pergulatan jiwaku saat berhadapan dengan situasi batas. Ada banyak hal yang kita cita-citakan. Namun sayang... kita tak punya apa-apa. Keadaan ini mengajakku pergi jauh sebagai protes di hadapan situasi tak menentu. Aku melakukan semuanya dengan penuh kesadaran. Telah memikirkan konsekwensi terburuk yang bakal aku alami. Ibu, situasi itu sedang aku jalani meski ada setitik cahaya remang tengah menerangiku. Kuyakin, ini berkat doamu. Kini aku hidup dalam kerinduan mencekam. Inginnya aku berteriak memanggilmu dengan kepasrahan seorang anak. Walau cuma dalam keheningan doa dengan kata yang rapuh”

Kata-kata yang kutulis merupakan hasil permenungan pribadi yang membangkitkan aku untuk kembali. Aku sungguh-sungguh merasa terpanggil untuk kembali ke rumah, menjumpai kedua orangtuaku. Pada kesempatan liburan, dengan tekad yang bulat aku pergi menemui kedua orangtuaku. Kisah Alkitab tentang anak hilang yang ingin kembali ke rumah Bapa, terasa benar-benar nyata dalam hidupku. Dan akulah anak yang hilang itu. Jantungku berdegup kencang tatkalah aku hendak masuk rumah. Aku membayangkan suatu kemarahan yang hebat. Namun, segala macam bayangan kemarahan itu sama sekali tidak menjadi kenyataan. 

Aku memeluk bapa dan mama dengan penuh rasa penyesalan. Aku tak sanggup menahan deraian air mata. Aku meminta maaf atas segala sikap dan perilakuku terhadap mereka. Aku menceritakan semua yang aku alami dan aku rasakan. Mereka memakluminya dan tetap memberikan peneguhan agar aku tegar dan semangat dalam perjuangan menggapai hidup yang lebih baik. Sungguh suatu kasih yang tiada batas, kasih yang tak bersyarat. Itulah kasih kedua orangtuaku. Akhirnya, aku pun larut dalam rasa syukur yang mendalam: ”Ya, Tuhan kasihMu setinggi langit dan kesetiaanMu menjangkau awan.”   

***

Bukit Karang Radamata, Oktober 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RPP Agama Katolik Kelas 1 dan 2 (Fase A) Semester Ganjil

Menuyusun perangkat pembelajaran merupakan salah satu tugas pokok seorang guru. Perangkat pembelajaran disiapkan oleh guru sebelum melakukan aktivitas pembelajaran di dalam kelas. Dalam Kurikulum Merdeka (kumer),  perangkat pembelajaran mencakup Program Tahunan (prota), Program Semester (promes), Capaian Pembelajaran (CP), Tujuan Pembelajaran (TP), dan Alur Tujuan Pembelajaran (ATP), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Juga Modul Ajar.  RPP dan modul ajar memiliki kesamaan yakni sebagai panduan bagi guru dan peserta didik dalam aktivitas pembelajaran. Perbedaannya ialah modul ajar lebih lengkap sehingga bisa juga dibagikan kepada siswa untuk pembelajaran secara mandiri. Sedangkan RPP hanya berisi panduan bagi guru untuk mengajar di dalam kelas sehingga tidak bisa dibagikan kepada siswa. Pada kesempatan ini akan dibagikan salah satu contoh RPP Pendidikan Agama Katolik untuk kelas 1 dan 2 (fase A). RPP yang dibagikan ini adalah RPP sepanjang semester ganjil. RPP ini telah...

RPP Agama Katolik Kelas VII dan VIII Semester Ganjil Kurikulum Merdeka

Menurut Permendikbud No.  22  Tahun  2016 tentang standar proses Pendidikan Dasar dan Menengah, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dimengerti sebagai rencana kegiatan pembelajaran tatap muka untuk satu atau lebih pertemuan.  RPP dikembangkan pada setiap awal semester atau awal tahun pelajaran. Penyusunan RPP bukan hanya sekedar urusan persiapan administratif seperti yang diyakini sebagian guru, melainkan kegiatan yang melekat pada pembelajaran sebagai sebuah  proses.  Dalam  sudut pandang manajemen,  kegiatan  perencanaan  selalu mendahului kegiatan pencapaian tujuan. Penyusunan dan pengembangan RPP dapat dilakukan oleh guru secara individu maupun dalam kelompok MGMP dan KKG. Photo Anastasia  Shuraeva dari pexels.com Seiring berjalannya waktu, kurikulum pendidikan berubah dari kurikulum 13 berubah menjadi kurikulum merdeka. Dalam kurikulum merdeka dikenal adanya modul ajar dan juga RPP. Modul ajar merupakan suatu perangkat ajar ...

Bisikan Pendidikan dan Jejak-jejak Mimpi

Mei kembali menyapa semesta. Begitu lembut. Ia datang bersama hujan di sela-sela angin. Memberi jatah bagi bulir padi yang tumbuh pada tanah retak akibat panas. Membantu tumbuh tunas baru pada pohon-pohon. Memulihkan luka bunga-bunga liar di padang Savana akibat gigitan hewan. Juga penyejuk bagi jiwa-jiwa manusia yang kemarau. Kring! Kring! kring! Alarm ponsel genggamku bergetar hebat tepat disebelah kanan kupingku. Tubuhku begitu sulit digerakkan. Berat. Pelan-pelana kumemaksa mataku terbuka.Cukup lama hingga mataku menangkap cahaya sang surya yang menembus celahjendela.Akubenar-benar kesiangan. Rupanya hujan semalam benar-benar membawaku pada lelap berkepanjangan. Aku bergegas membersihkan tubuhku. Memakai seragam dan sepatu. Lalu mengambil selendang motif berwarna merah darah yang telah kusiapkan dari semalam di atas meja. Setelah semua beres, aku berlari kecil menuju dapur. Aku mendapati ibu duduk di pinggir tungku api. Tangannya sibuk mengaduk makanan yang menguap dari mulut panci...