body { font-family: "Poppins", poppins-fallback, poppins-fallback-android, sans-serif; } /* Poppins font metrics: - ascent = 1050 - descent = 350 - line-gap = 100 - UPM: 1000 AvgCharWidth: - Poppins: 538.0103768 - Arial: 884.1438804 - Roboto: 969.0502537 */ @font-face { font-family: poppins-fallback; src: local("Arial"); size-adjust: 60.85099821%; ascent-override: 164.3358416%; descent-override: 57.51754455%; line-gap-override: 16.43358416%; } @font-face { font-family: poppins-fallback-android; src: local("Roboto"); size-adjust: 55.5193474%: ascent-override: 180.1173909%; descent-override: 63.04108683%; line-gap-override: 18.01173909%; }
zmedia

Bisikan Pendidikan dan Jejak-jejak Mimpi

Mei kembali menyapa semesta. Begitu lembut. Ia datang bersama hujan di sela-sela angin. Memberi jatah bagi bulir padi yang tumbuh pada tanah retak akibat panas. Membantu tumbuh tunas baru pada pohon-pohon. Memulihkan luka bunga-bunga liar di padang Savana akibat gigitan hewan. Juga penyejuk bagi jiwa-jiwa manusia yang kemarau.

Kring! Kring! kring! Alarm ponsel genggamku bergetar hebat tepat disebelah kanan kupingku. Tubuhku begitu sulit digerakkan. Berat. Pelan-pelana kumemaksa mataku terbuka.Cukup lama hingga mataku menangkap cahaya sang surya yang menembus celahjendela.Akubenar-benar kesiangan. Rupanya hujan semalam benar-benar membawaku pada lelap berkepanjangan.

Aku bergegas membersihkan tubuhku. Memakai seragam dan sepatu. Lalu mengambil selendang motif berwarna merah darah yang telah kusiapkan dari semalam di atas meja. Setelah semua beres, aku berlari kecil menuju dapur. Aku mendapati ibu duduk di pinggir tungku api. Tangannya sibuk mengaduk makanan yang menguap dari mulut panci. Matanya berair karena selalu diserang asap dapur. Rambut ikalnya acak-acakan bertabur abu dapur. Aku segera mencium tangan ibu. 

Nanda Anita (mengenakan selendang) bersama ibu Aplonia Popo (Foto:Dokumentasi Pribadi)

Aroma asap begitu menyengat dari telapak tangannya. Aroma yang selalu menusuk hidungku setiap kali mencium tangan ibu dipagi hari sebelum berangkat ke sekolah. Menyiapkan makanan sebelum pergi ke kebun adalah rutinitas pagi Ibu. Setelah itu membawa bekal untuk Ayah yang sudah terlebih dahulu kekebun saat pagi belum benar-benar hilang dan pulang rumah sampai malam benar-benar datang. Namun, hari ini ibu tidak akan berlama-lama di kebun. Ia akan menyusulku untuk menerima amplop hasil belajarku selama tiga tahun di SMA.

Sebelum membuka amplop, sesaatku tengadah pada langit-langit kelasdengan kedua tangan terkatup. Batinku merintih syukur. Mataku berkaca-kaca. Akhirnya, waktu membawaku pada hari ini. Aku menarik napas dalam-dalam. Berharap segala juang selama tiga tahun membawa aroma wangi di ujung sana.

Lulus. Sebuah kata yang langsung menjadi pusat perhatianku dengan Ibu sekejap amplop di tanganku terbuka. Aku melonjak kegirangan. Ibu merangkul erat-erat. Lalu mencium keningku bertubi-tubi dengan penuh haru. Air matanya begitu cepat jatuh di pipinya yang keriput. Begitu pula denganku dan beberapa teman sejawat. Seketika itu juga ruang kelas dihujani air mata.

Gerimis turun tiba-tiba. Hujan. Bunyi seng berdentangan. Aku dan Niada terbirit-birit menuju kelas. Saling berkejaran dengan hujan sambil membawa makanan ditangan. Beruntungnya Ibu telah pulang dahulu sejam yang lalu. Tak kehujanan. Sambil menikmati makanan aku menatap kosong hujan yang ramai melalui jendela. Niada pun demikian. Ia duduk di sampingku tanpa suara. Niada teman sebangkuku, satu-satunya teman yang selalu kuandalkan dalam hal apa pun.

“Kamu  lanjut kuliah, Nanda?” Tiba-tiba Niada membuyarkan lamunanku. Aku tak menyahut. Tersenyum. Lalu kembali menatap ke arah jendela.

“Minggu depan aku akan berangkat ke Kupang. Mengurus berkas-berkas dan akan kuliah di sana.”Niada bercoleteh. Matanya berbinar-binar.

“Aku yakin kamu pasti melakukan yang terbaik untuk kuliahmu nanti, Niada. Baik- baiklah disana. Berjanjilah padaku untuk merawat hubungan pertemanan ini.”Aku merangkul Niada. Hatiku pilu.

“Pasti, Nanda. Berjanjilah juga padaku untuk terus bertempur menggapai mimpi- mimpimu.” Kami berpelukan. Begitu erat. Sama-sama bersedih. Sama-sama menggantungkan mimpi di pundak masing-masing.

Satu minggu. Dua minggu. Tiga minggu. Hampir sebulan lamanya sejak hari kelulusanku tak ada tanda-tanda bahwa aku akan kuliah. Pikiranku kacau. Hari-hariku habiskan dengan menanam bunga-bunga pohon di halaman depan. Hujan yang sering datang membantu cepat mereka hidup dan tumbuh. Bila angin sedikit kencang, daun- daun bunga itu riuh sekali. Bergelombang mengikuti angin.

Matahari turun perlahan menuju barat. Warna jingga di kaki langit begitu elok. Udara sore Pahunga Lodu begitu begitu ramah menyapa tubuh. Merasuki majinasi dan membawaku pada kekosongan. Cukup lama hingga suara tapak-tapak kaki bertelanjang menyadarkanku.

Tidak seperti biasanya, malam ini Ayah dan Ibu pulang lebih cepat dari biasanya. Memikul seikat kayu api besar di punggungnya yang semakin membungkuk. Ibu menjunjung bakul besar berisi singkong dengan beban yang berat. Tubuh keriput mereka dipenuhi lumpur dan tertutup pakaian lusuh. Meskipun demikian, aku menangkap ketegaran dari kedua bola mata mereka. Aku berkaca-kaca mengamati semua itu dari bilik dinding lapuk.

Makan malam pun tiba. Bagiku, ini saat yang tepat untuk menanyakan perihal kuliah. Aku menikmati makanan dengan dada berdebar-debar tak karuan. Sesekali aku mencuri pandang ke wajah Ayah.Wajah itu begitu tenang.

“Masakannya enak sekali. Besok-besok masak seperti ini lagi ya, Ibu.” Suara kutergesa-gesa membuka keheningan.  Ibu tersenyum dan mengangguk. Lalu kembali menunduk. Aku melihat wajah Ayah. Ia tetap tenang. Bahkan tak menghiraukan pujiaku pada masakan Ibu.Tiba-tiba dada kuberdegup kencang.

“Bagaimana dengan kuliahku, Ayah? Kapan aku mendaftar?” Pertanyaan itu tiba-tiba  keluar dari mulutku dengan cepat. Juga menghentikan sesaat Ayah mengunyah makanan dan melemparkan pandangan kearahku.

“Maaf, Nanda. Kamu tak bisa melanjutkan kuliah. Kamu tahu segala seluk-beluknya kekurangan keluarga kita.”Ayah membuka suaranya pelan namun terdengar jelas di kupingku.

“Tapi, Ayah. Dulu Ayah berjanji untuk menyekolahkan aku, membiayai kuliah dan menghadiri acara wisudaku. Bukankah itu mimpi Ayah?” Aku terbata-bata. Dadaku bergemuruh.

“Iya, Nanda. Itu mimpi Ayah dulu sewaktu sapi-sapi kita belum dicuri. Mereka modal ayah satu-satunya. Tapi sekarang apa yang harus diandalkan? Hidup kita bahkan terlilit hutang sana-sini. Ayah harap kamu mengerti, Nanda.”SuaraAyah bergetar.

“Sudahlah, Niada. Ibu harap kamu memaklumi ini semua dengan lapang dada.” Suara Ibu pelan. Begitu lembut. Namun menusuk hingga ke sudut hatiku.

Aku menarik napas panjang. Berusaha menahan sebutir air di ujung mata. Napasku beradu.Tubuhku bergetar. Namun aku tahu bagaimana berlaku sebagai seorang anak yang tegar. Melanjutkan sisa makanan dengan bersikap normal. Tak ada suara. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang memecahkan keheningan.

Malam pun pecah dan berantakan. Membayangkan hidup di depan sana tanpa kuliah begitu menyayat hati. Lalu apa yang harus kulakukan setelah perkataan terakhir ibu di meja makan tadi? Pasrah? Ah, aku begitu payah. Lalu haruskah aku menyuruh mereka Berhutang lagi? Rasanya aku begitu tak berperasaan membiarkan mereka terdindih oleh hutang-hutang yang menggunung.Bagaimana jika aku yang berhutang? Tapi aku Perempuan bisu. Bahasaku tidak membakar. Siapa yang akan percaya? Segala pertanyaan muncul di kepala. Pening. Air mataku bercucuran. Deras. Seperti derasnya hujan bulan Mei. Aku merasakan tubuhku hancur. Satu persatu segala harapan yang telah aku dambakan pergi menjauhiku. Membumbung tinggi di angkasa. Malam semakin meninggi. Gelap membawaku pada pergulatan hebat. Aku mulai menyalahkan tak diri bahkan kepada Dia yang menulis jalan takdir hidupku. Seperti dalam lorong kelam aku mencari suara-Nya dengan doa-doa patah di bibir. Kapan Tuhan berbisik padaku? Mengapa aku harus   melewati luka dan air mata ini? Aku merintih. Tapi, bukankah Tuhan pun selalu berbisik melalui luka dan air mata? Bruk! Tubuhku jatuh. Aku tak sadarkan diri. 

Pagi-pagi benar, aku mengendap-endap menuju kebun belakang. Menyusuri jalan setapak. Embun-embun pagi belum sepenuhnya hilang di dedaunan saat tubuh kutelah tiba disebuah tempat masa kecilku. Bekas sisa rumah panggung masih terlihat, rumput akar mulai hidup dan berkembang. Berumah. Bekas rumah panggung di depanku sesungguhnya ingatan tentang wajah kanak-kanakku dan Nenek sewaktu masih hidup.

Aku membuyarkan lamunanku. Mataku bergerak ke sana ke mari mencari sesuatu. Begitu pula dengan kedua tanganku sibuk mengorek tanah bekas tempat bermainku dulu. Cukup lama hingga aku kelelahan. Namun, lelah kuterbayar tuntas saat apa yang kucari telah kugenggam erat. Sebuah cincin dan gelang permata masih utuh di dalam kotak yang terkubur dalam tanah. Kilaunya begitu memamcar. Membawa wajah Nenek saat terakhir kali berbicara dan memberikan kedua benda berharga itu padaku. Mata kenangan itu mengarah tajam ke wajahku.

Dua hari setelahnya aku turun kekota. Menjumpai beberapa pembeli perhiasan. Tekadku sudah bulat. Aku akan menjual kedua benda berharga pemberian Nenek. Benar-benar menyedihkan. Bahkan benda yang sangat berharga bagiku, baik nilai maupun kenangan akan Nenek, kini tidak bisa lagi aku pertahankan. Setelah lama bernegosiasi dengan seorang pembeli keturunan Cina, aku menyerahkan kedua benda itu dengan berat hati. Air mata menjadi saksi saat kaki membawa tubuh ini jauh dari toko pembeli itu.

Ayah dan Ibu hanya terdiam mendengar penuturanku. Aku menceritakan segala yang terjadi dan menyampaikan permintaan izin untuk segera berangkat kuliah. Semua begitu tiba-tiba bagi mereka. Terus-terang aku tak kuasa dengan keadaan ini. Namun, tak ada pilihan lain. Aku tahu untuk menjemput cahaya di depan sana aku harus melewati gerimis ini. Bahkan mungkin juga hujan dan badai yang sewaktu-waktu akan datang menyerang ku nanti.

Ibu mendekatiku. Di bawah tatapan matanya aku menemukan keteduhan, tempat menumpangkan jiwa yang letih. Aku melihat dari kedua bola matanya sebutir kristal bening jatuh. Aku jatuh di pelukannya. Ayah memalingkan wajahnya dari kami. Ia duduk di kursi kayu panjang membelakangi kami. Meskipun tak melihat wajahnya, aku tahu hatinya koyak dan ada air mata yang tumpah di pipinya.

Mata waktu bergerak dan menyeretku begitu cepat. Membawa mimpi-mimpi yang kala itu pergi, satu persatu datang kembali padaku. Tak terasa, sudah setahun berlalu aku menempuh kuliah.

“Halo, Nanda. Saya ingin bicara sebentar denganmu.” Ibu Aplonia, dosen mata kuliah Keterampilan Membaca dan Menulis menyapaku seusai kuliah dengannya. Aku pun tetap duduk di kursi. Sambil menunggu teman-teman yang lain keluarruangan, Ibu Aplonia membereskan buku-bukunya di tas.Aku sedikit gugup.

“Mengapa maujadi guru?”Ibu Aplonia bertanya sambil tertawa kecil. Aku hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Ibu Aplonia .Aku yakin, bukan pertanyaan itu satu-satunya tujuan ia ingin berbicara dengan ku saat ini.

“Begini, Nanda. Saya melihat keseriusan kamu dalam belajar sangat tinggi. Saya juga melihat kamu mempunyai kemampuan yang cukup baik di mata kuliah yang saya ajarkan. Saya tertarik ingin menawarkan kamu bergabung di komunitas belajar saya.

Kamu akan membantu saya melatih anak-anak membaca dan menulis di luar jam kuliah. Ada juga beberapa senior yang telah bergabung dan membantu saya selama ini. Jika tidak keberatan, saya akan memberi satu kamar di kos-kosan saya untuk kamu tempati agar tak perlu lagi mengeluarkan biaya membayar kos. Untuk upah membantu saya, akan saya pikirkan. Mungkin sedikit uang untuk membantu kebutuhan sehari-hari  kamu dan bila kamu pintar menabung akan membantu biaya kuliah kamu.”Ibu Aplonia berbicara lembut. Wajahnya tak pernah bosan untuk tersenyum padaku.

“Tentu saya tidak keberatan, Ibu. Bahkan tanpa diberi upah pun saya bersedia membantu.Terima kasih, ini berkat berlimpah bagi saya.” Secara spontan saya mencium tangan Ibu Aplonia dengan haru. Hatiku tak karuan. Perasaanku bercampur aduk antara sedih dan senang. Rasa-rasanya saat itu aku berteriak melompat-lompat kegirangan selayaknya anak kecil yang polos dan lugu.

Anak-anak selalu dapat menerima kedatangan seseorang dengan cepat.Tak ada ketakutan yang membuat mereka harus berhati-hati dan menjaga jarak. Wajah mereka begitu damai menerima kedatangan ku untuk pertama kalinya. Aku langsung berbaur. Kata demi kata tercipta di atas buku usang melalui tangan-tangan mungil mereka. Bibir-bibir kecil mereka komat-kamit membaca kata demi kata. Suasana begitu hidup. Hingga tak terasa matahari sebentar lagi akan menunaikan tugasnya. Anak-anak berlarian kecil padaku. Menyalim. Lalu melambai kan tangan mereka sebelum tangan itu digandeng oleh kedua orangtua mereka yang menjemput digerbang depan. Aku tersenyum kecil mengantarkan kepergian mereka. Satu menit. Sekonyong-konyong wajah Ayah dan Ibu datang tersenyum padaku sambil melambai-lambaikan tangan mereka. Jiwaku koyak.

Aku tahu merekapun menanti kepulanganku dengan menabung rindu di bantal kepala, di emperan rumah dan di sudut hati yang terdalam. Kukepal kedua tanganku erat-erat. Hasrat di hatiku bergelora, membawa kaki kumelangkah. Mungkin ke kamar mandi. Barangkali juga menangis. Wajah mereka dan mimpi anak-anak Marapu terus menari-nari di ingatanku. 

*** 

Cerpen di atas merupakan cerpen terbaik dalam lomba menulis cerpen tingkat SMA Se-Sumba Timur dalam rangka memeriakan Dies Natalis SMAN 1 Haharu, Sumba Timur. Ditulis oleh Nanda Anita Siswi SMAN 1 Pahunga Lodu, Sumba Timur. Guru pembimbingnya ibu Aplonia Popo, S.Pd,Gr Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Pahunga Lodu.

Posting Komentar untuk "Bisikan Pendidikan dan Jejak-jejak Mimpi"